BAB I
1.1 FONETIK : PRODUKSI BUNYI-BUNYI BAHASA
1.
Pengantar
Bahasa adalah system lambing bunyi
yang arbiter yang digunakan oleh anggota masyarakat manusia untuk bekerja sama,
berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Sebagai sebuah system, bahasa
bersifat sistematis karena memiliki unsur-unsur yang berkaidah dan bersifat
sistemis karena memiliki subsistem fonologi, gramatika, dan leksikon.
Bahasa itu memiliki makna. Lambang
bahasa merupakan tanda yang harus dipelajari dan disepakati oleh pemakainya.
Karena itu, bahasa pun bersifat konvensional.
Bahasa itu system bunyi. Apa yang
dikenal tulisan sifatnya sekunder, karena manusia dapat berbahasa tanpa
mengenal tulisan. Bunyi bahasa itu arbiter, karena tak ada hubungan wajib
antara unsur-unsur bahasa dengan acuan yang dilambangkannya.
Bahasa sebagai fenomen yang
memadukan bagian dunia bunyi dan bagian dunia makna mempunyai tiga subsistem,
yakni subsistem fonologi, gramtika, dan leksikon. Ketiga subsistem bahasa itu
berkaitan dengan aspek semantic.
Fonologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang bunyi. Fonologi mencakup segi-segi bunyi bahasa, baik yang
bersangkutan pembentukan bunyi, bunyi sebagai getaran udara, dan bunyi yang
terdengar (ketiganya dikaji oleh fonetik) maupun yang bersangkutan dengan
fungsi bunyi dalam komunikasi (aspek ini dikaji oleh fonemik).
2.
Pengertian, Kajian, dan Produksi Bunyi Bahasa
A.
Pengertian Bunyi Bahasa
Bunyi bahasa merupakan unsur bahasa
yang paling kecil. Istilah bunyi bahasa atau fon merupakan terjemahan dari
bahasa Inggris phone “bunyi”. Bunyi bahasa menyangkut getaran udara. Getaran
udara ini masuk ke telinga berupa bunyi atau suara. Bunyi itu terjadi karena
dua benda atau lebih yang bergeseran atau berbenturan. Sebagai getaran udara,
bunyi bahasa merupakan suara yang dikeluarkan oleh mulut, kemudian gelombang
bunyi sehingga dapat diterima oleh telinga.
Singkatnya, bahasa atau bunyi ujaran
adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia atau bunyi yang
diartikulasikan, kemudian membentuk gelombang bunyi, sehingga dapat diterima
oleh telinga manusia.
B.
Kajian Bunyi Bahasa
Bunyi bahasa dilihat dari sudut
ujaran atau tuturan (parole). Misalnya, perbedaan antara bunyi vocal depan
madya atas [e] dengan vocal depan madya bawah [E]. kajian mengenai bunyi bahasa
ini disebut fonetik.
Fonetik dapa didefinisikan sebagai
kajian tentang bunyi bahasa, pembentukannya, frekuensinya sebagai getaran
udara, dan cara penerimaannya oleh telinga. Berdasarkan proses kejadian bunyi
bahasa tersebut, fonetik di bedakan atas tiga jenis, yakni
(1) Fonetik Artikulatoris
Fonetik artikulatoris, yang disebut
juga fonetik organis atau fonetik
fifiologis, ialah fonetik yang mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat
bicara yang ada dalam tubuh manusia menghasilkan bunyi bahasa.
(2) Fonetik Akustis
Fonetik ini mempelajari bunyi bahasa
sebagai gejala fisis yang berupa getaran udara. Dalam fonetik jenis ini dikaji
frekuensi getaran bunyi, amplitude, intensitas dan timbrenya. Fonetik ini
berguna untuk pembuatan telepon, perekaman piringan hitam, pengukuran frekuensi
radio, dan sejenisnya.
(3) Fonetik Auditoris
Fonetik jenis ini mempelajari
bagaimana mekanisme telinga menerima bunyi bahasa sebagai getaran suara.
Fonetik ini berkaitan erat dengan proses mendengar atau menyimak.
C.
Produksi Bunyi Bahasa
Dalam pembentukkan bunyi bahasa ada
tiga factor utama yang terlibat yakni sumber tenaga, alat ucap yang
menimbulkan getaran dan rongga pengubah getaran. Proses pembetukan bunyi
bahasa dimulai dengan memanfaatkan pernafasan sebagai sumber tenaganya. Sumber
tenaga itu berupa udara yang keluar dari paru-paru. Pada mulanya udara dihisap
oleh paru-paru, kemudian dihembuskan sewaktu bernapas. Udara yang dihembuskan
itu mengalami perubahan pada pita suara yang terletak pada pangkal tenggorokan.
Arus udara yang keluar dari paru-paru itu dapat membuka kedua pita suara yang
merapat sehingga mengakibatkan corak bunyi bahasa tertentu. Gerakan membuka dan
menutup pita suara itu menyebabkan arus udara dan udara di sekitar pita suara
itu berubah tekanannya dan bergetar. Perubahan bentuk saluran suara itulah yang
menghasilkan bunyi bahasa yang berbeda-beda.
Tempat atau alat ucap yang dilewati
udara dari paru-paru, antara lain: batang tenggorok, pangkal tenggorok,
kerongkongan, rongga mulut, rongga hidung. Pada waktu udara mengalir ke luar,
pita suara dalam keadaan terbuka. Jika udara tidak mengalami hambatan pada alat
ucap, maka bunyi bahasa tidak akan terjadi seperti dalam bernapas. Pada
prinsipnya proses terjadinya bunyi bahasa dapat dibedakan atas empat macam,
yakni proses mengalirnya udara, proses fonasi, proses artikulasi dan proses
oronasal.
Berikut uraian dan cara kerja alat
ucap :
Paru-paru berfungsi untuk
pernapasan.
Pangkal tenggorok atau laring adalah
rongga pada ujung pipa pernapasan. Rongga ini terdapat atas 4 komponen, yakni
tulang rawan krikoid, dua tulang rawan aritenoid, sepasang pita suara, dan
tulang rawan tiroid.
Epiglottis (katup pangkal tenggorok)
terletak pada pintu masuk tenggorok dan dalam pembentukan bunyi bahasa,
epiglottis ini tidak mempunyai peranan apa-apa.
Rongga kerongkongan atau faring,
dalam pembentukan bunyi bahasa berperan sebagai tabung udara yang kan ikut
bergetar jika pita suara bergetar. Bunyi bahasa yang dihasilkan oleh faring
disebut bunyi faringal.
Langit-langit lunak atau velum,
Bunyi yang dihasilkan oleh anak tekak ini disebut bunyi velar. Dalam
pembentukan bunyi, langit-langit lunak berfungsi sebagai articulator pasif
(titik artikulasi), sedangkan articulator aktifnya adalah pangkal lidah. Bunyi
yang dibentuk oleh pangkal lidah (dorsum) disebut bunyi dorsal. Gabungan
keduanya menjadi dorso-velar. Untuk bunyi yang dihasilkan dengan hambatan anak
tekak (uvula) disebut bunyi uvular.
Langit-langit keras (palatum)
merupakan susunan bertulang. Dalam pembentukan bunyi bahasa ini sebagai
articulator pasif sedangkan articulator aktifnya adalah ujung atau tengah
lidah. Bunyi yang dihasilkan oleh palatum disebut bunyi palatal. Bunyi yang
dihasilkan ujung lidah (apex) disebut bunyi apical, sedangkan bunyi yang
dihasilkan dengan hambatan tengah lidah disebut bunyi medial. Gabungan yang
pertama menjadi apikopalatal, sedangkan gabungan yang kedua menjadi
medio-palatal.
Gusi dalam (alveolum), dalam
pembentukan bunyi bahasa, gusi ini berfungsi sebagai articulator pasif,
sedangkan articulator aktifnya adalah ujung lidah. Bunyi yang dihasilkan oleh gusi disebut bunyi
apikoalveolar. Gusi dapat pula bekerja sama dengan daun lidah (lamina) sebagai
articulator aktifnya sehingga terbentuk bunyi laminal. Gabungan keduanya
membentuk bunyi laminoalveolar.
Gusi atau denta dibedakan atas gigi
atas dan gigi bawah. Gigi bawah dalam pembentukan bunyi bahasa tidak banyak
perannya, hanya membantu saja. Gigi atas berfungsi sebagai articulator yang
bekerja sama dengan bibir bawah atau ujung lidah. Bunyi yang dihasilkan oleh
bibir (labia) disebut bunyi labial. Bunyi yang dihasilkan oleh hambatan gigi
atas dengan bibir bawah disebut bunyi labiodentals, sedangkan yang dihasilkan
oleh hambatan gigi atas dengan ujung lidah disebut apiko-dental.
Bibir atau labia dibedakan atas
bibir atas dan bibir bawah. Dalam pembentukan bunyi bahasa, bibir adalah
sebagai articulator pasif bekerja sama dengan bibir bawah sebagai articulator
aktifnya. Dapat juga bibir bawah sebagai arikulator aktif yang bekerja sana
dengan gigi atas hasilnya disebut bunyi labio-dental.
Lidah, dalam pembentukan bunyi
bahasa, lidah berfungsi sebagai articulator aktif. Lima bagian lidah, yakni
akar lidah, pangkal lidah, tengah lidah, daun lidah, dan ujung lidah. Akar
lidah bekerja sama dengan rongga kerongkongan menghasilkan bunyi
radiko-faringal. Pangkal lidah bekerja sama dengan langit-langit lunak
menghasilkan bunyi dorso-velar. Tengah lidah bekerja sama dengan langit-langit
keras menghasilkan bunyi medio-palatal. Ujung lidah bekerja sama dengan
langit-langit keras menghasilkan bunyi apiko-palatal. Selain itu, ujung lidah
dapat pula bekerja sama dengan gusi untuk menghasilkan bunyi apiko-alveolar,
sedangkan dengan gigi atas menghasilkan bunyi apiko-dental.
1.2 PEMBENTUKAN DAN
KLASIFIKASI BUNYI BAHASA
1.
Vokal, Konsonan, dan Semivokal
Vokal, Konsonan, dan Semivokal
merupakan jenis bunyi yang dibedakan berdasarkan ada tidaknya rintangan
terhadap arus udara dalam saluran suara. Semivokal biasa dimasukkan ke dalam
konsonan. Karena itu, bunyi segmental lazim dibedakan atas bunyi vocal dan
bunyi konsonan.
Vocal adalah bunyi bahasa yang arus udaranya tidak mengalami
rintangan. Hambatan pada pita suara tidak lazim disebut artikulasi. Konsonan adalah bunyi bahasa yang
dibentuk dengan hambatan arus udara pada sebagian alat ucap. Dalam hal ini
terjadi artikulasi. Bunyi semi-vokal
adalah bunyi yang secara praktis termasuk konsonan, tetapi karena pada waktu
diartikulasikan belum membentuk konsonan murni. Bunyi ini dapat juga disebutkan
semikonsonan, namun istilah ini jarang dipakai.
2.
Bunyi Nasal dan Oral
Bunyi nasal atau sengau dibedakan
dari bunyi oral berdasarkan jalan keluarnya udara. Bunyi nasal dihasilkan dengan menutup arus udara ke luar melalui
rongga mulut, tetapi membuka jalan agar dapat keluar melaui rongga hidung. Bunyi oral dihasilkan dengan jalan
mengangkat ujung anak tekak mendekati langit-langit lunak untuk menutupi rongga
hidung sehingga arus udara dari paru-paru keluar melaui mulut.
3.
Bunyi keras dan Lunak
Bunyi keras (fortis) dibedakan dari
lunak (lenis) berdasarkan ada tidaknya ketegangan arus udara pada waktu bunyi
itu diartikulasikan. Bunyi bahasa disebut keras apabila pada waktu
diartikulasikan disertai ketegangan kekuatan arus udara. Jika sebaliknya maka
disebut lunak.
Bunyi keras mencakupi beberapa jenis bunyi seperti : (1) bunyi letup
tak bersuara: [p, t, c, k] ; (2) bunyi geseran tak bersuara: [s] ; (3) bunyi
vocal: [כ]
Bunyi lunak mencakupi beberapa jenis seperti: (1) bunyi letup bersuara: [b,
d. j, g] ; (2) bunyi geseran bersuara: [z] ;(3) bunyi nasal: [m, n, ň, η] ; (4)
bunyi likuida: [r, l] ; (5) bunyi semi-vokal: [w, y] ; (6) bunyi vocal: [I, e,
o, u]
4.
Bunyi Panjang dan Pendek
Bunyi panjang dibedakan dari bunyi
pendek berdasarkan lamanya bunyi tersebut diucapkan atau diartikulasikan. Tanda
bunyi panjang lazimnya dengan tanda garis pendek di atasnya […] atau dengan
tanda titik dua […] dibelakang bunyi yang panjang itu.
5.
Bunyi Nyaring dan Tak Nyaring
Bunyi nyaring dibedakan dari bunyi tak
nyaring berdasarkan kenyaringan bunyi pada waktu terdengar oleh telinga.
Pembedaan bunyi derajat kenyaringan itu merupakan tinjuan fonetik auditoris.
Derajat kenyaringan itu sendiri ditentukan oleh luas sempitnya atau besar
kecilnya ruang resonansi pada waktu bunyi itu diucapkan. Makin luas ruang
resonansi saluran bicara yang dipakai pada waktu membentuk bunyi bahasa, makin
tinggi derajat kenyaringannya. Sebaliknya, makin sempit ruang resonansinya,
makin rendah derajat kenyaringannya.
6.
Bunyi Tunggal dan Rangkap
Bunyi tunggal dibedakan dari bunyi
rangkap berdasarkan perwujudannya dalam suku kata. Bunyi tunggal adalah sebuah yang berdiri sendiri dalam satu kata,
sedangkan bunyi rangkap adalah dua
bunyi atau lebih yang bergabung dalam satu suku kata. Semua bunyi vocal dan
konsonan adalah bunyi tunggal. Bunyi vocal disebut juga monoftong. Bunyi
rangkap dapat berupa diftong maupun klaster. Diftong, yang lazim disebut vikal
rangkap, dibentuk apabila keadaan posisi sewaktu mengucapkan bunyi vocal yang
satu dengan bunyi vocal yang lainnya saling berbeda. Misalnya, dalam bahasa
Indonesia terdapat diftong [oi], [aI], [aU].
Klaster, yang lazim disebut gugus
konsonan, dibentuk apabila cara artikulasi atau tempat artikulasi dari kedua
konsonan yang diucapkan saling berbeda. Misalnya, dalam bahasa Indonesia
terdapat gugus [pr], [kr], [tr], dan [bl].
7.
Bunyi Egresif dan Ingresif
Kedua bunyi ini dibedakan
berdasarkan arus udara. Bunyi egresif dibentuk
dengan cara mengeluarkan arus udara dari dalam paru-paru, sedangkan bunyi ingresif dibentuk dengan cara
menghisap udara ke dalam paru-paru. Kebanyakan bunyi bahasa Indonesia merupakan
bunyi egresif. Bunyi egresif dibedakan lagi atas bunyi egresif pulmonik dan
bunyi egresif glotalik.
Bunyi ingresif dibedakan atas bunyi ingresif glotalik dan bunyi velarik.
Bunyi ingresif glotalik memiliki kemiripan dengan cara pembentukan bunyi
egresif glotalik, hanya arus udara yang berbeda. Bunyi ingresif velarik
dibentuk dengan menaikkan lidah ditempatkan pada langit-langit lunak.
1.3 PEMBENTUKAN VOKAL
1.
Cara Pembentukan Vokal
Istilah vocal sebenarnya merupakan
vocal cardinal, yakni bunyi vocal yang mempunyai kualitas bunyi tertentu,
keadaan lidah tertentu, dan bentuk bibir tertentu, yang telah dipilih dan
dibentuk dalam suatu rangka gambar bunyi. Parameter penentuan vocal cardinal
itu ditentukan oleh keadaan posisi tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang
bergerak, strikutur, dan bentuk bibir.
Kedudukan lidah dalam mengucapkan
vocal cardinal [I, a, aI, u] telah ditentukan dengan menggunakan pemotretan
sinar X, sehingga dapat diketahui titik tertinggi letak ketinggian lidah yang
melengkung. Vocal [I] diucapkan dengan meninggikan lidah depan setinggi mungkin
tanpa menyebabkan terjadinya konsonan geseran. Vocal [a] diucapkan dengan
merendahkan lidah depan (ujung lidah) serendah mungkin. Vocal [aI] diucapkan
dengan merendahkan pangkal lidah sebawah mungkin vocal [u] diucapkan dengan
menaikkan pangkal lidah setinggi mungkin.
a. Pembentukan vocal berdasarkan
posisi bibir dibedakan atas:
(a) vocal bulat, (b) vocal tak
bulat.
b. Pembentukan vocal berdasarkan
tinggi rendahnya lidah dibedakan atas:
(a) vocal tinggi atau atas ; (b)
vocal madya atau tengah
(c) vocal rendah datau bawah
c. Pembentukan vocal berdasarkan
maju mundurnya lidah dibedakan atas:
(a) vocal depan ; (b) vocal tengah ;
(c) vocal belakang.
d. Striktur
Adalah keadaan posisional
articulator (aktif) dengan articulator pasif atau titik artikulasi. Karena
vocal tidak mengenal artikulasi, striktur vocal ditentukan oleh jarak antara
lidah dengan langit-langit. Dilihat dari strikturnya, vocal dibedakan atas 4
jenis, yakni vocal tertutup, vocal semi-tertutup, vocal terbuka, dan vocal
semi-terbuka.
1.4 PEMBENTUKAN
KONSONAN
1.
Pembentukan Konsonan Berdasarkan Daerah Artikulasi
Berdasarkan strikturnya, yakni
hubungan antara articulator dan titik artikulasi, konsonan dapat dibedakan
atas:
· konsonan bilabial, bunyi yang dihasilkan ialah [p], [b],
[m], dan [w].
· konsonan labiodentals, bunyi yang dihasilkan ialah [f] dan
[v].
· konsonan apikodental, bunyi yang dihasilkan ialah [t], [d]
dan [n].
· konsonan apiko-alveolar, bunyi yang dihasilkan ialah [s],
[z], [r], [l].
· konsonan palatal, bunyi yang dihasilkan [c], [j], [š], [ň]
dan [y].
· konsonan velar, bunyi yang dihasilkan ialah [k], [g], [x]
dan [η].
· Konsonan glottal, bunyi yang dihasilkan ialah ?.
· konsonan laringal, bunyi yang dihasilkan ialah h.
2. Pembentukan Konsonan Berdasarkan Cara
Artikulasi
Berdasarkan cara artikulasi atau
jenis hubungan udara yang terjadi pada waktu udara keluar dari rongga ujaran,
konsonan dapat dibedakan atas:
· konsonan hambat, yang dihasilkan ialah [p], [t], [c], [k],
[b], [d], [j], [g], dan [?]. konsonan hambat yang disudahi dengan letupan
disebut konsonan eksplosif, misalnya [p] pada kata lapar, pukul dan lipat.
Konsonan hambat yang tidak diakhiri oleh letupan disebut konsonan implosive,
misalnya [p] pada kata kelap, gelap dan tetap.
· Konsonan geser atau frikatif, yang dihasilkan ialah [f],
[v], [x], [h], [s], [š], z dan x.
· konsonan likuida atau lateral, yang dihasilkan ialah [I].
· konsonan getar atau trill, akan terjadi konsonan getar
uvular [R].
· semi vocal, misalnya [w] dan [y].
3.
Pembentukan Konsonan Berdasarkan Posisi Pita Suara
Berdasarkan posisi pita suara,
konsonan dibedakan atas:
· konsonan suara, yang dihasilkan ialah [m], [b], [v], [n],
[d], [r], [ň], [j], [η], [g], dan [R].
· konsonan tak bersuara, yang dihasilkan ialah [p], [t], [c],
[k], [?], [f], [s], [š], [x], dan [h].
4.
Pembentukan Konsonan Berdasarkan Jalan Keluar Udara
Konsonan dapat dibedakan atas:
Konsonan oral, yang dihasilkan ialah
[p], [t], [c], [k], [?], [b], [d], [j], [g], [f], [s], [š], [x], [h], [r], [I],
[w], dan [y].
Konsonan nasal, yang dihasilkan
ialah [m], [n], [ň], dan [η].
BAB II
2.1 FONETIK :
REALISASI DAN PROBLEMATIKA BUNYI BAHASA
A.
Pengaruh-Pemengaruh Bunyi Bahasa
Pengaruh-Pemengaruh Bunyi Bahasa
menyangkut dua segi, yakni pengaruh bunyi bahasa dan pemengaruh bunyi bahasa.
Pengaruh bunyi bahasa muncul sebagai akibat proses asimilasi, sedangkan
pemengaruh bunyi bahasa merupakan tempat artikulasi yang mempengaruhi bunyi
yang disebut artikulasi penyerta (artikulasi sekunder atau koartikulasi).
a. Proses Asimilasi
Menurut arahnya dibedakan asimilasi
progresif daripada asimilasi regresif.
b. Artikulasi Penyerta
Perbedaan ucapan suatu bunyi dengan
ucapan yang berlainan disebabkan oleh artikulasi penyerta, ko-artikulasi, atau
artikulasi sekunder bunyi yang mengikutinya. Proses pengaruh bunyi yang
disebabkan oleh artikulasi penyerta dapat dibedakan atas:
·
Labialisasi, misalnya bunyi [t] pada
kata tujuan terdengar sebagai bunyi [tw] atau [t dilabialisasi].
·
Retrospeksi, misalnya, [kf.]
atau [k] diretrofleksi seperti pada kata kerdus.
·
Palatalisasi, misalnya, bunyi [p]
dalam kata piara terdengar sebagai [py]
atau [p] dipalatalisasi.
·
Velarisasi, misalnya, bunyi [m]
dalam kata makhluk terdengar sebagai
[mx] atau [m] divelarisasi.
·
Glotalisasi, misalnya, bunyi [o]
dalam obat terdengar sebagai [?o]
[?obat] atau [o] diglotalisasi.
c. Pengaruh Bunyi Karena Distribusi
·
Aspirasi, misalnya, bunyi konsonan
letup bersuara [b, d, j, g]
·
Pelepasan, dibedakan atas:
lepas tajam misalnya mantap [
mantapˉ ],
lepas nasal misalnya tatap muka [pm
] dan tempat nenek [tn].
lepas sampingan misalnya cukup luas
[PI]
·
Pengafrikatan, Gabungan antara
hambat dan geseran disebut paduan atau afrikat. Prosesnya disebut paduanisasi atau
pengafrikatan. Misalnya, bunyi [t] diucapkan [ts].
d. Kehomorganan
Yakni dengan mempergunakan alat-alat
ucap yang sama dan dengan tempat artikulasi yang sama. Terdapat dua jenis
kehomorganan, yakni kehomorganan penuh dan kehomorganan sebagian.
B.
Realisasi Fonem
Adalah pelafalan fonem oleh penutur
suatu bahasa. Realisasi atau lafal fonem mencakup vocal, diftong, dan konsonan.
Berikut enam vocal, tiga diftong, dan dua puluh tiga konsonan.
1. Realisasi Vokal
Vocal /i/ ; vocal /e/ ; vocal /ə/ ;
vocal /a/; vocal /o/; vocal /u/
2. Realisasi Diftong
Diftong /au/ ; diftong /ai/ ;
diftong /oi/
3. Realisasi Konsonan
Konsonan /p/ ; /b/ ; /m/ ; /w/ ; /f/
; /t/ ; /d/ ; /n/ ; /l/ ; /r/ ; /c/ ; /j/ ; /ň/ ; /s/ ; /y/ ; /k/ ; /g/ ; /η/ ;
/x/ ; /h/
C.
Transkripsi Bunyi Bahasa
Realisasi bunyi bahasa merupakan
perwujudan bunyi bahasa dalam pengucapan atau penulisan. Pengalihan huruf demi
huruf yang disebut transliterasi.
Transkripsi adalah penulisan tuturan
atau pengubahan teks dengan tujuan untuk menyarankan lafal bunyi, fonem,
morfem, atau tulisan sesuai dengan ejaan yang berlaku dalam suatu bahasa yang
menjadi sasarannya. Transkripsi dibedakan atas beberapa jenis sebagai berikut :
·
Transkripsi fenotis, Misalnya, sebut
[səbut]
·
Transkripsi fonemis, Misalnya, dalam
/dalam/
·
Transkripsi morfemis, Misalnya,
belajar {bel-} {ajar}
·
Transkripsi ortografis, Misalnya,
masuk <m,a,s,u,k>
Transliterasi adalah penggantian
huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain, tanpa menghiraukan
lafal bunyi kata yang bersangkutan. Misalnya transkripsi aksara Jawa, Sunda,
Bali, Batak dan sebgainya dialihkan ke huruf abjad Latin.
2.2 BUNYI
SUPRASEGMENTAL
A.
Pengertian Suprasegmental
Bunyi suprasegmental seperti vocal,
konsonan dan semi-vokal. Bunyi suprasegmental dapat diklasifikasikan
berdasarkan cirri-cirinya sewaktu diucapkan. Cirri-cirinya waktu diucapkan
disebut “cirri prosodi”. Cirri yang paling mudah untuk mengerti adalah dari
sudut akustik. Ada dua sifat akustik, yaitu frekuensi adalah jumlah getaran udara persekon dan menentukan
titnada atau nada, jadi menurut tinggi rendahnya. Dan amplitudo adalah tidak menyangkut frekuensi gelombang udara,
melainkan lebarnya gelombang-gelombang itu, yakni lebarnya gelombang udara sama
dengan kerasnya bunyi.
B.
Peranan Ciri Suprasegmental
Merupakan istilah yang digunakan
dalam penandaan bahasa lisan. Dalam bahasa tulis penandaan itu disebut tanda
baca. Melalui cirri suprasegmental inilah kita dapat membedakan asal daerah
seseorang.
C.
Ciri-Ciri Bunyi Suprasegmental
a. Jangka ; b. Tekanan ; c. Jeda ;
d. Intonasi dan Ritme Istilah intonasi dibatasi sebagai pola perubahan nada
yang dihasilkan oleh pembicara pada waktu mengucapkan kalimat atau
bagian-bagiannya.
BAB III
3.1 PENGERTIAN DAN
PENGENALAN FONEM
A.
Pengertian Fonem dan Fonemisasi
Terdapat perbedaan bunyi bahasa
secara fonetis yang bersifat ujaran (parole) dengan bunyi bahasa secara fonemis
yang bersifat system pikiran (langue). Yang pertama disebut bunyi ujaran (fon),
sedangkan yang kedua disebut fonem.
Istilah fonem didefinisikan sebagai
satuan bahasa terkecil yang bersifat fungsional, artinya satuan fonem memiliki
fungsi untuk membedakan makna. Fonem dapat dibatasi dengan unit yang bersifat
distingtif atau unit bunyi yang signifikan.
Fonemisasi, yakni prosedur untuk
menemukan fonem-fonem. Fonemisasi harus dilakukan berdasarkan pencatatan
fonetis yang baik dan cermat. Fonemisasi bertujuan untuk (1) menentukan
struktur fonemis sebuah bahasa dan (2) membuat ortografi yang praktis atau
ejaan sebuah bahasa.
B.
Pengenalan Fonem
Berdasarkan sifat umum dapat
disebutkan premis-premis bunyi bahasa sebagai berikut.
a.Bunyi bahasa mempunyai
kecenderungan untuk dipengaruhi oleh lingkungannya.
b.Sistem bunyi mempunyai
kecenderungan bersifat simetris
c.Bunyi-bunyi bahasa yang secara
fonetis mirip, harus digolongkan ke dalam kelas-kelas bunyi (fonem) yang
berbeda,
d.Bunyi-bunyi yang secara fonetis
mirip terdapat di dalam distribusi yang komplementer, harus dimasukkan ke dalam
kelas-kelas bunyi (fonem) yang sama.
C.
Beban Fungsional Fonem
Karena fonem berfungsi sebagai
pembeda atau bersifat distingtif, fonem-fonem itu memiliki beban fungsional
dalam pasangan minimal.
3.2 REALISASI DAN
VARIASI FONEM
A.
Realisasi Fonem
Adalah pengungkapan yang sebenarnya
dari cirri atau satuan fonologis yakni fonem menjadi bunyi bahasa dan kaitannya
erat dengan variasi fonem. Variasi fonem merupakan salah satu wujud
pengungkapan dari realisasi fonem.
a. Vokal dalam bahasa Indonesia
· Fonem /i/ adalah vocal tinggi-depan-tak bulat.
· Fonem /u/ adalah vocal atas-belakang-bulat.
· Fonem /e/ adalah vocal sedang-depan-tak bulat.
· Fonem /ə/ adalah vocal sedang-tengah-tak bulat.
· Fonem /o/ adalah vocal sedang-belakang-bulat.
· Fonem /a/ adalah vocal rendah-tengah-bulat.
b. Konsonan dalam Bahasa Indonesia
Konsonan dibentuk berdasarkan 1.
Keadaan pita suara, 2. Daerah artikulasi, 3. Cara artikulasi, 4. Jalan keluar
udara, dan 5. Strikturnya.
a. Konsonan hambat
Fenom
/p/ dan /b/ merupakan konsonan hambat-bilabial.
Fenom
/t/ dan /d/ termasuk konsonan hambat-dental.
Fenom /c/ dan /j/ termasuk konsonan
hambat-palatal.
Fenom
/k/ dan /g/ termasuk konsonan hambat-velar.
b. Konsonan frikatif atau geser
dalam dalam bahasa Indonesia ialah
Fenom /f/ dan /v/ merupakan konsonan
frikatif-labio-dental.
Fenom /s/ dan /z/ merupakan konsonan
frikatif-alveolar.
Fenom
/š/ merupakan konsonan friaktif-palatal.
Fenom
/x/ atau /kh/ merupakan konsonan frikatif-velar.
Fenom
/h/ merupakan konsonan frikatif-glotal.
c. Konsonan getar, fenom /r/
merupakan konsonan getar-alveolar.
d. Konsonan Lateral, fenom /l/
merupakan konsonan lateral-alveolar.
e. Konsonan nasal, ada empat
konsonan nasal, yakni /m/, /n/, /ň/, dan /η/.
f. Semivokal, dalam bahasa Indonesia
terdapat semivokal /w/ dan /y/.
B.
Variasi Fenom
Variasi fenom adalah ujud pelbagai
manifestasi bersyarat maupun tak bersyarat dari fenom. Fenom dalam bahasa
Indonesia dapat memiliki beberapa lafall yang bergantung pada tempatnya dalam
kata atau suku kata. Variasi suatu fenom yang tidak membedakan bentuk dan arti
kata dinamakan alofon.
a. Alofon vocal
b. Alofon konsonan
3.3 GEJALA FONOLOGIS
A.
Netralisasi dan Arkifonem
Netralisasi adalah alternasi fonem akibat pengaruh lingkungan atau
pembatalan perbedaan minimal fonem pada posisi tertentu. Sedangkan Arkifonem adalah golongan fonem yang
kehilangan kontras pada posisi tertentu. Hal ini bisa dilambangkan dengan huruf
besar seperti /D/ yang memiliki alternasi atau varian fonem.
Netralisasi yang memunculkan
arkifonem dapat disebut sebagai variasi fonem bebas, yakni suatu fonem
bervariasi dengan fonem lainnya dalam suatu kata tanpa mengubah makna. Fonem
yang dapat menggantikan posisi fonem lain tanpa membedakan makna, hanya sebagai
variasi saja, disebut varian.
B.
Pelepasan Fonem dan Kontraksi
Pelepasan bunyi adalah hilangnya
bunyi pada sebuah kata tanpa mengubah makna. Hal ini dapat berupa kontraksi
atau pemendekan kata. Namun, dalam pemendekan kata bunyi-bunyi yang dilepaskan
itu lebih dari satu. Pelepasan fonem pada awal kat disebut aferesis. Pelepasan
fonem pada tengah kata disebut sinkope. Pelepasan fonem pada akhir kata disebut
apokope. Kaidah fonologis, yang paling mudah diperpendek adalah segmen-segmen
yang tak bertekanan. Haplology, yakni pemendekan yang terjadi pada sebuah kata
karena penghilangan sebuah bunyi atau suku kata dalam pengucapan.
C.
Disimilasi
Adalah perubahan bentuk kata karena
salah satu dari dua buah fonem yang sama ganti dengan fonem yang lain. Dalam
disimilasi terjadi 2 fonem yang sam menjadi fonem yang lain.
D.
Metatesis
Dalam proses metatesis yang diubah
adalah urutan fonem-fonem tertentu. Biasanya bentuk asli dan bentuk yang
mengalami metasis itu terdapat bersama-sama, sehingga ada variasi bebas.
E.
Penambahan Fonem
Penambahan atau penyisipan vocal
lemah (pendek) antara 2 buah konsonan atau lebih dalam suatu kata dilakukan
untuk kelancaran ucapan. Penambahan fonem semacam ini disebut swarabakti atau
anaptiksis.
BAB IV
4.1 FONOTAKTIK BAHASA
INDONESIA
1.
Pengertian Fonotaktik
Merupakan kaidah urutan fonem yang
dimungkinkan dalam suatu bahas. Ke dalam fonotaktik termasuk deskripsi tentang
urutan fonem dan system pengaturan dalam stratum fonetik.
2.
Distribusi Fonem
Adalah pembicaraan posisi fonem dalam
sebuah kata.
a. Distribusi Vokal
b. Distribusi Konsonan
4.2 DERETAN FONEM,
DIFTONG, DAN GUGUS
A.
Deretan Fonem
Merupakan urutan beruntun dari dua
fonem atau lebih yang sejenis dalam sebuah kata. Deretan vocal adalah urutan
vocal yang tidak tersisipi konsonan. Deretan konsonan adalah urutan dua
konsonan atau lebih dalam suatu kata yang tidak tersisipi vocal.
B.
Diftong
Merupakan vocal yang pada saat
pengujarannya berubah kualitasnya. Dalam system tulisan diftong biasa
dilambangkan oleh dua vocal yang berurutan. Perbedaan diftong dari deretan
vocal adalah cara hembusan nafas.
C.
Gugus
Merupakan deretan konsonan yang ada
pada satu suku kata. Berbeda dengan
deretan fonem, diftong dan gugus merupakan urutan fonem yang berada pada satu
suku kata.
Misalnya : urutan vocal /au/ dalam
kata /kerbau/ merupakan diftong, sedangkan urutan konsonan /pr/ pada kata
/praja/ merupakan gugus atau klaster.
4.3 PENYUKUAN DAN PEMENGGALAN KATA
A.
Pengertian Suku Kata
Dari segi fisiologis, suku kata
adalah ujaran yang terjadi dalam satu denyut dada, yakni satu penegangan otot
pada waktu pengembusan udara dari paru-paru. Dari sudut artikulatoris, suku
kata adalah regangan ujaran yang terjadi dari satu puncak kenyaringan di antara
dua unsure yang tak berkenyaringan. Dari sudut fonologis, suku kata adalah
struktur yang terjadi dari satu fonem atau urutan fonem bersama dengan cirri
lain seperti tekanan dan panjang, yang kadang-kadang ada kesepadanan antara
suku kata yang ditetapkan secara fonetis dan secara fonologis, kadang-kadang
tidak.
Suku kata yang berakhir dengan vocal
(K) V disebut suku buka, sedangkan suku kata yang berakhir dengan konsonan (K)
VK disebut suku tutup.
B.
Struktur Suku Kata
Adalah susunan fonem yang menjadi
bagian kata. Suku kata dalam bahasa Indonesia dapat terdiri atas : 1) V 2) VK
3) KV 4) KVK 5) KKV
6) KKVK 7) KVKK 8) KKKV
9) KKKVK 10) KKVKK 11) KVKKK
C.
Pemenggalan Kata
Pemenggalan kata berhubungan dengan
kata sebagai satuan tulisan, sedangkan penyukuan kata berkaitan dengan kata
sebagai satuan bunyi bahasa. Pemenggalan tidak selalu berpedoman pada lafal
kata.
4.4 KAIDAH GRAFEMIS
A.
Hubungan Fonem dan Grafem
Bunyi yang dikaji oleh para ahli
bahasa itu ialah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, yang disebut
bunyi bahasa. Istilah fonem yang bersangkutan dengan bunyi perlu dibedakan
dengan istilah grafem yang bersangkutan dengan huruf. Fonem berada dalam
wilayah bahasa lisan, sedangkan grafem berada dalam wilayah bahasa tulis.
B.
Realisasi Grafem
Di samping tujua bagi peneliti
bahasa, yaitu mencari seperangkat tanda-tanda untuk menyatakan ujar bahasa,
hasil penelitian fonemik dapat pula dipakai sebagai dasar pembentukan suatu
system tulisan atau ejaan bahasa itu. Satu fonem direalisasikan dengan satu
grafem atau lebih.
C.
Pungtuasi
Unsur suprasegmental biasanya
dinyatakan secara tertulis melalui tanda-tanda baca atau pungtuasi. Pungtuasi
direalisasikan berdasarkan dua hal utama yang komplementer, yakni (1)
unsure-unsur suprasegmental dan (2) hubungan sintaksis.